Yulisman Dorong Penerapan B50, Tekankan Persiapan Ekonomi, Infrastruktur, dan Lingkungan
LKI Golkar – Anggota Komisi XII DPR RI, Yulisman, menyerukan agar kebijakan biodiesel B50 yang akan menjadi kewajiban mulia diterapkan pada 2026 dilakukan dengan persiapan matang dari berbagai sisi. Ia menilai bahwa transisi energi ini harus disertai kesiapan ekonomi — termasuk pasokan bahan baku — ketersediaan infrastruktur yang memadai, serta mitigasi dampak lingkungan.
Yulisman menyebut bahwa kebijakan B50 dapat menjadi strategi penting untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap impor bahan bakar minyak (BBM), sekaligus meningkatkan nilai tambah komoditas sawit nasional. Hal itu juga sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mencapai target Net Zero Emission pada 2060.
Ia menjelaskan bahwa pada tahun 2024, impor solar Indonesia mencapai 13,15 juta kiloliter—angka yang menurutnya memberi ruang besar untuk penghematan devisa apabila kebijakan B50 dapat berjalan efektif.
Dengan pengalaman program biodiesel sebelumnya (seperti B35/B40), negara telah mencatat penghematan devisa senilai USD 9,33 miliar atau sekitar Rp 147,5 triliun.
Namun, Yulisman memperingatkan bahwa produksi biodiesel nasional saat ini diperkirakan berada di kisaran 17 juta KL per tahun — artinya masih ada kebutuhan tambahan kapasitas sekitar 2–3 juta KL agar target B50 dapat dicapai. Selain itu, penguatan distribusi dan fasilitas penyimpanan BBM harus dilakukan agar ekosistem bahan bakar dapat mendukung kebijakan ini.
Dari sisi lingkungan, legislator ini menekankan perlunya pengawasan agar peningkatan permintaan sawit tidak memicu alih fungsi lahan baru yang merusak ekosistem. Ia menyarankan agar uji jalan menyeluruh dilakukan dan kualitas mesin dievaluasi agar kompatibilitas terhadap B50 terjamin.
Yulisman menyatakan bahwa DPR mendukung penuh penerapan B50, namun membuka kemungkinan penggunaan B45 sebagai tahap transisi jika kesiapan bahan baku dan infrastruktur belum optimal.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan ini harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan domestik, impor, industri, serta sektor pangan dan energi agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.
